Njoto dan tragedi G30S

(Diambil dari edisi khusus TEMPO  5-11 Oktober 2009)

 

Rahasia Tiga Dasawarsa

Soetarni, istri Njoto, hidup sebelas tahun di penjara. Tujuh anaknya
hidup berpisah, tinggal bersama sanak saudara.

ILHAM Dayawan masih mengingat belasan tentara yang membawa ibunya,
Soetarni, empat puluh tahun silam. ”Pinjam ibumu sebentar, ya,” kata
seorang tentara kepadanya, yang ketika itu bocah 11 tahun. Azan magrib
masih terdengar pada hari itu, satu Ahad di bulan Juni.

Ilham, anak kedua pasangan Njoto dan Soetarni, tinggal bersama ibu dan
enam adiknya di rumah di Baturetno, Wonogiri, Jawa Tengah. Kakaknya,
Svetlana Dayani, tinggal di rumah kerabat mereka di Solo. Ayah mereka
dulu menjabat Ketua II Comite Central Partai Komunis Indonesia.

Tentara datang ke rumah itu pada Ahad siang. Adik adik Ilham sedang
bermain ketika beberapa jip tentara menderu masuk halaman. Para prajurit
yang ditemani pejabat kabupaten menyerbu masuk. Mereka menggeledah
seluruh rumah yang sebenarnya punya kakak Soetarni. Semua perabotan
dikeluarkan. Tempat tidur, kursi, meja, lemari, kasur, dan barang pecah
belah dilempar ke halaman. Menjelang azan magrib, mereka baru berhenti.

Soetarni diangkut ke kantor Balai Kota Solo. Di sana ia diinterogasi dan
kemudian dijebloskan ke Rumah Tahanan Perempuan Bulu di Semarang. Ia
dituduh mengikuti rapat politik. Padahal ia mengatakan hanya menghadiri
pesta pernikahan kerabat di Solo, beberapa hari sebelum aparat
mendatangi rumah kediamannya.

Ini penahanan Soetarni yang kedua. Kurang dari dua tahun sebelumnya, ia
dibebaskan setelah delapan bulan mendekam di Rumah Tahanan Budi
Kemuliaan, Jakarta. Tujuh anaknya, termasuk bayi yang baru lahir, ikut
ditahan sejak pertengahan 1966. Seorang anaknya lolos karena ketika
tentara datang, sedang diajak pamannya ke luar rumah. Adapun Njoto
ditangkap aparat pada Desember, tiga bulan setelah Gerakan 30 September.

Keluar dari Budi Kemuliaan, Soetarni dan anak anaknya tinggal di
Baturetno. Kedatangan aparat yang membawa kembali Soetarni membuat
kerabat kerabatnya panik. Seorang kakak kandungnya yang tinggal di Solo
lalu menemui Nyonya Tien Soeharto, meminta pembebasannya. Keluarga ini
memang memiliki hubungan kekerabatan dengan Tien Soeharto. Ibu Soetarni
keturunan trah Mangkunegaran, sepupu orang tua Tien.

Lobi” itu tak mempan. Soetarni tetap dihukum. ”Tapi saya tak pernah
sekali pun dipukul, apalagi disiksa,” kata Soetarni kepada Tempo pada
pertengahan September lalu. Kini, usianya 81 tahun.

*l l l*

Begitu PKI dianggap bertanggung jawab atas penculikan dan pembunuhan
enam jenderal Angkatan Darat, 30 September 1965, Soetarni segera
meninggalkan rumah di Jalan Malang Nomor 22, Jakarta Pusat. Berbekal
koper pakaian, ia mengungsi bersama tujuh anaknya—semuanya berusia di
bawah 10 tahun.

Soetarni terakhir bertemu dengan Njoto ketika mengungsi di Asrama
Central Gerakan Mahasiswa Indonesia, Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat,
pada akhir 1965. Setelah itu tak ada lagi kabar dari sang suami.
Perempuan kelahiran Solo, 10 Juni 1928, ini berpindah pindah, ditemani
sopir bernama Kunli. Kadang ia tinggal di rumah kawan, lain kali di
kediaman kerabat. ”Kami menginap paling lama tiga hari karena risikonya
sangat besar,” kata Ilham.

Kawan dan kerabat keluarga Njoto selalu memberi bantuan. Jane Luyke,
istri Oey Hay Djoen, meminjamkan sedan putihnya. Kawan lain turut
meminjami mobil. Menurut Jane, mobil yang digunakan Soetarni berganti
ganti untuk menutupi jejak. Pada saat penangkapan di masa pelarian 1966
di Gunung Sahari, Soetarni dan anak anak sedang meminjam mobil milik
Jane. Mobil ini pun disita tentara.

Setelah ditangkap kedua kalinya, Soetarni ditahan di Penjara Komando
Distrik Militer, lalu Penjara Bulu (Semarang), Bukit Duri (Jakarta).
Terakhir, dia dipindahkan ke Plantungan (Jawa Tengah). Total masa
penahanannya 11 tahun.

Selama Soetarni dipenjara, jarang sekali anak anaknya bisa menjenguk.
Mereka tinggal di rumah saudara saudara kandung Soetarni. Hanya anak
bungsunya, Esti Dayati, diasuh dalam penjara hingga usia empat tahun.
Tujuh anak itu tinggal bersama adik perempuan Soetarni di Solo selama
dua tahun. Suami adik perempuan Soetarni seorang arsitek dan pemborong
bangunan sehingga kondisi ekonominya bagus. Tapi begitu ia meninggal,
anak anak Soetarni harus hidup berpisah pisah, dibagi ke kerabat lain.

Anak pertama dan keempat, yakni Svetlana Dayani dan Risalina Dayana,
tinggal bersama kakak lelaki Soetarni di Jakarta. Anak kedua dan kelima,
Ilham Dayawan dan Irina Dayasi, diboyong ke Palembang oleh kakak
perempuan Soetarni. Anak ketiga dan keenam tinggal di Medan.

Njoto memberi nama belakang tujuh anaknya ”daya”. Ini diambil dari nama
lain Njoto, Kusumo Dikdoyo. Dikdoyo dalam bahasa Jawa berarti daya.
Untuk anak pertamanya, Njoto memberi nama berbahasa Rusia, yakni
Svetlana yang berarti cahaya. Sejak prahara 1965, Svetlana tak lagi
menggunakan namanya. Dia hanya menggunakan nama belakangnya, Dayani.

Nama yang berbau Rusia dengan mudah dicap sebagai PKI ketika itu. ”Saya
baru kembali memasang nama itu pada 1987. Saya lelah berbohong dan
bersembunyi,” katanya.

Sebelum reformasi 1998, anak anak Njoto tak berani membeberkan latar
belakang keluarga mereka. Tak sekali pun mereka menggunakan nama
bapaknya dalam urusan administrasi kependudukan. Mereka memakai nama
paman atau bibi yang menanggung mereka.

Irina mengaku masa masa berpisah dengan keluarga adalah masa sulit dalam
hidupnya. Ia mengingat di masa kecil mesti membantu keluarga pamannya
mengurus kebutuhan anak kos. ”Hampir tak punya kawan karena hidup antara
rumah dan sekolah,” katanya.

Lulus sekolah menengah atas, Irina kembali ke Jakarta. Awalnya ia
bekerja sebagai guru di sebuah sekolah dasar swasta. Bekerja hampir tiga
tahun, ia dipecat. ”Tanpa alasan jelas. Ada kemungkinan karena mereka
mengetahui rahasia keluarga kami,” katanya.

Irina diajak bergabung dengan organisasi lembaga swadaya masyarakat di
bidang penegakan hak asasi manusia. Dia bekerja berpindah pindah
organisasi demi memupuk pengalaman. Namun teman temannya selalu melarang
dia turun ke jalan saat demonstrasi di masa Orde Baru. ”Mereka takut
jika pemerintah mengetahui latar belakang saya, organisasi mereka
terancam,” ujarnya.

Soetarni keluar dari penjara pada 1979. Keluarga yang nyaris tak pernah
berhubungan kembali bersatu oleh kehadiran sang ibu. Svetlana yang sudah
bekerja mengajak ibunya tinggal di rumah kontrakan di Jati Pisang,
Jakarta Timur. Anak anaknya yang lain dan telah menyebar memutuskan
tinggal di dekat ibunya di sekitar Jakarta bersama keluarga masing masing.

Ia tak pernah menceritakan sejarah Njoto kepada anak anaknya. Ia baru
bercerita setelah masa reformasi. Namun Irina bisa memahami latar
belakang keluarganya berbekal ingatan masa kecil dan pelajaran sejarah.
Fidelia dan Esti, adik Irina, bahkan baru mengetahui orang tua mereka
yang sebenarnya ketika keduanya duduk di SMA. Esti awalnya mengira sang
tante yang merawatnya di Yogyakarta adalah ibunya. Begitu mengetahui
latar belakang keluarganya, Fidelia tak berani mendaftar menjadi pegawai
negeri sipil. Lulus dari sekolah keperawatan, ia batal masuk Departemen
Kesehatan.

Soetarni masih terlihat tegar dalam usianya kini, 81 tahun. Rambutnya
sebahu, sudah seputih asap. Wajahnya yang ramah tak menunjukkan
kepedihan. Dia bahkan tak pernah menangis. Ilham mengingat, ”Kami hanya
sekali saja melihatnya menangis: saat kehilangan bapaknya. Itu sebelum
peristiwa 1965.”

 

* * *